"Saya Memutuskan untuk berhenti kuliah"
PUTRA MR. JANDALI
Sebelum Steve Jobs lahir pun orangtua biologisnya sudah punya cita-cita pendidikan tinggi untuknya. Ini tidak
mengherankan: ayah Abdulfattah
"John" Jandali sendiri mengutamakan pendidikan. Jadi, tidak aneh apabila John Jandali lalu meraih
gelar Ph.D. di University of Wisconsin. Ibu biologic Jobs, Joanne Schieble, mahasiswi pascasarjana terapi wicara, juga
mengutamakan pendidikan Tapi karena ayahnya tak setuju dia berpacaran, apalagi menikah, dengan seorang laki-laki Suriah, maka Joanne
pun merelakan bayi yang dikandungnya untuk diadopsi, dengan syarat: orangtua yang mengadopsi harus lulusan universitas.
Takdir menentukan
bahwa pasangan lulusan universitas yang mau mengadopsi anak Jandali dan Schieble menginginkan
anak perempuan, jadi
ketika Schieble melahirkan anak laki-laki, mereka tidak jadi mengadopsi. Anak itu kemudian beralih
kepasangan berikut, Paul dan Clara
Jobs, yang Schieble kira lulusan universitas. Ketika Schieble mendapati bahwa
keduanya tidak lulus sekolah menengah atas, dia meminta pasangan Jobs berjanji:
putranya harus kuliah. Paul dan Clara Jobs menyetujui dengan berat hati, tapi
janji tersebut kemudian membebani keluarga
kelas pekerja yang ingin mengadopsi anak itu. Anak yang lahir pada 24 Februari 1955 itu dinamai Steven Paul Jobs.
TERIKAT UNIVERSITAS
Karma tumbuh besar di
Los Altos, selatan San Francisco, Steve Jobs tidak kekurangan pilihan tempat
kuliah, termasuk Stanford University di dekat sana. Stanford layak berstatus
legendaris dalam sejarah Silicon Valley karena berperan sebagai perintis dalam
beberapa terobosan dunia komputer: protokol Internet (TCP/IP) dikembangkan
oleh Profesor Vinton Cerf; dua alumninya, Jerry Yang dan David Filo, mendirikan
Yahoo!; dua mahasiswa pascasarjana, Sergey Brin dan Larry Page, mengembangkan
algoritma peringkat laman untuk versi awal Google. Stanford juga punya hubungan
kuat dengan beberapa perusahaan penting Silicon Valley, termasuk Cisco Systems,
Intuit, Silicon Graphics, dan Sun Microsystems.
Stanford juga meluluskan para pendiri
Hewlett-Packard, yang garasinya adalah "Tempat Lahir Silicon Valley"
menurut situs web universitas tersebut. Ada fakta yang tak diketahui banyak
orang, yaitu ketika Steve Jobs berumur dua belas, dia bertemu Bill Hewlett dari Hewlett-Packard:
Ketika dia kelas delapan, Steve Jobs
ingin membuat alat hitung frekuensi untuk proyek sekolah dan perlu suku
cadang. Ada orang yang mengusulkan supaya dia menelepon Bill
Hewlett. Sesudah menemukan nama William Hewlett di buku telepon, Jobs yang
berumur 12 itu menelepon dan bertanya, "Apakah ini Bill Hewlett dari
Hewlett-Packard?"
"Ya," kata Bill. Jobs mengajukan permintaannya. Bill berbicara sebentar dengan Jobs mengenai proyek itu.
Beberapa hari kemudian, Jobs pergi ke HP dan mengambil sekantong penuh suku cadang yang disiapkan Bill untuknya.
Berikutnya, Jobs mendapat pekerjaan musim panas di HP pada masa antara tahun ajaran pertama dan keduanya di Homestead High.
Sekilas Stanford University boleh jadi cocok dengan Jobs, tapi dia pernah menjelaskan: "Saya ingin sesuatu yang lebih artistik dan menarik.
Beberapa hari kemudian, Jobs pergi ke HP dan mengambil sekantong penuh suku cadang yang disiapkan Bill untuknya.
Berikutnya, Jobs mendapat pekerjaan musim panas di HP pada masa antara tahun ajaran pertama dan keduanya di Homestead High.
Sekilas Stanford University boleh jadi cocok dengan Jobs, tapi dia pernah menjelaskan: "Saya ingin sesuatu yang lebih artistik dan menarik.
Selain itu, Stanford University mahal dan bakal membebani
anggaran orangtua angkat Jobs. Pilihan lainnya adalah universitas negara bagian
California dengan biaya lebih rendah. Tapi universitas California tak menarik
bagi Jobs. Malah, sesudah mengunjungi Reed College di Portland, Oregon, dia
bertekad kuliah di sana. Orangtua angkat Jobs sudah tahu bahwa putra mereka yang
pandai tapi keras kepala tidak bisa digoyahkan kalau sudah ingin sesuatu. Tahu
tidak ada yang bisa dilakukan, orangtuanya menyerah dan bersiap menanggung
uang kuliah dan biaya hidup di negara bagian lain.
Janji Paul dan Clara Jobs kepada Joanne Schieble, ibu kandung anak mereka, bakal terpenuhi: Putranya bakal kuliah berapa pun biayanya.
Janji Paul dan Clara Jobs kepada Joanne Schieble, ibu kandung anak mereka, bakal terpenuhi: Putranya bakal kuliah berapa pun biayanya.
REED COLLEGE
Sebagaimana didapati Steve Jobs, ada
perbedaan besar antara cara dia memandang perannya sebagai mahasiswa di Reed
College dan harapan Reed College terhadap dia. Jobs mengutamakan
"liberal" dan "seni" di Reed College, tapi Reed College
mengutamaka kuriculum yang menuntut. Menurut Taman Web Reed College: "Reed
menyediakan pengalaman kuliah S1 yang paling ketat secara intellectual
senegara, dengan program sangat terstruktur yang memadukan sebaran luas dan
studi mendalam disiplin akademis tertentu.”
Bukan itu yang diharap Steve Jobs.
"Mereka menyuruh saya ikut segala macam mata kuliah," keluhnya kepada
sahabatnya, Steve "Woz" Wozniak, pakar elektronika yang dikenal Jobs
lewat teman mereka berdua, Bill Fernandez, ketika dia masih sekolah menengah
atas. Woz menjawab dengan datar, "Ya, memang seperti itulah kuliah.
Harapan tak realistis Jobs atas tempat
kuliahnya sebagai tempat bertemu cewek dan belajar apa pun yang dia
ingin, semau dia sendiri hancur ketika bertemu realitas.
Sesudah enam bulan frustrasi karena berusaha mengikuti irama sesama mahasiswa
baru, Jobs menyadari bahwa dia tidak sama dengan mereka. Dia hidup seperti
seniman dan tak suka dengan batas-batas akademik. Jelas, jalur yang telah disepakati orangtua angkat dan ibu kandung Jobs bukan jalur yang ingin
dia lalui.
Gelar sarjana dianggap sebagai tiket
menuju keberhasilan, tapi menurut Jeremy Kahn dalam artikel majalah Fortune, "bagi banyak orang, nilai
yang didapat dari pendidikan tinggi adalah persahabatan yang dijalin (atau
tidak dijalin) dan jalan baru yang diambil (atau tidak diambil). Dengan
demikian, argumen ekonomi boleh jadi tidak tepat." Kahn menjelaskan bahwa
orangtua "ingin tahu apakah layak menguliahkan anak kesayangannya. Dan itu pertanyaan yang tak bisa dijawab ahli
ekonomi."
Namun, pertanyaan itu juga tak berlaku
bagi Jobs karena dia akhirnya drop out untuk
selamanya dari Reed College, menolak pendidikan formal dan memilih pendidikan
informal, seperti komentar getir Mark Twain: "saya tak pernah membiarkan urusan
sekolah mengganggu pendidikan saya." Bagi Jobs, pengamatan dan pengalaman -- kehidupan itu sendiri -- bakal menjadi guru-gurunya.
Steve Jobs |
BERANIKANLAH DIRI
MENJALANI
HIDUPMU, BUKAN
HIDUP YANG
DIBAYANGKAN UNTUKMU
OLEH
ORANGTUA YANG BERNIAT BAIK ATAU
SOSOK BERWENANG LAIN, KAMU AKAN
TAHU APA YANG TERBAIK.
|
0 Comments