"..rasa ingin tahu dan intuisi saya ternyata belakangan jadi sangat berharga"

Dua tempat terkenal Jepang Gunung Fuji dan Kuil Naga Damai Kyoto, taman Zen di Ryoan-ji—bisa ditemukan digambar-gambar latar desktop Maverick, sistem operasi Mac terkini.

Sebagaimana segala hal di Apple, penyertaan keduanya disengaja. Walau Jobs tak pernah mendaki Gunung Fuji, dia suka berjalan-jalan di taman-taman batu Kyoto, yang dia kunjungi secara teratur, seringkali bersama anak-anaknya yang tabu bahwa di sana adalah tempat favoritnya. 

Yang tak banyak diketahui adalah rasa penasaran Jobs terhadap budaya Jepang ternyata sangat berguna dalam membantu membentuk dan memperkuat filosofi bisnisnya. Minatnya juga tecermin di produk-produk Apple sendiri—sederhana, elegan, mungil, dan indah.

Dalam sambutannya di Stanford, Jobs menyampaikan satu cerita yang sering diulang mengenai minatnya kepada kaligrafi, yang timbul karena satu pertemuan kebetulan di Reed College, meng-hasiikan jenis-jenis huruf (font) Macintosh. Ceritanya hebat, tapi sangat terkenal sehingga mungkin para wisudawan dan wisuda­wati Stanford sudah mengetahuinya. Oleh karena itu lebih baik kita simak minatnya yang lain yang makin lama makin penting Jepang.

Karena selalu ingin tahu mengenai budaya dan bisnis Jepang, Jobs mendalami nilai-nilai Nippon dalam hidupnya, secara pribadi dan profesional. Pembahasan rincinya akan terlalu panjang untuk buku ini, tapi mengetahui garis besarnya sudah cukup untuk mendapat hikmah: Sebagaimana Jobs memadukan teknologi dan seni liberal, dia juga nyaman memadukan budaya Timur dan Barat, Jepang dan Amerika.

Pangan : Jobs yang vegetarian ketika kuliah dan pescetarian (tidak makan daging apa pun kecuali ikan—Penerj.), menggemari sushi segar (terutama belut) dan mie soba.

Sushi, yang nikmat bagi mata dan lidah, memerlukan bahan ma­kanan laut tersegar, beras terbaik, dan cuka istimewa untuk mem­buat tiap gigitan membahagiakan.

Sementara itu mi soba, yang dibuat dari tepung gandum soba, disiapkan di tempat dan dapat disajikan panas atau dingin; panas dengan sup, dingin dengan saus cocolan. 

Jadi, masuk akallah bahwa kalau sedang di Jepang, Jobs memuas­-muaskan diri menikmati hidangan lokal karena autentisitas dan kelezatannya. 

Di Amerika, Jobs adalah langganan dua restoran di Palo Alto-Jinsho dan Kaygetsu—yang menyediakan hidangan karya juru ma­sak berpengalaman dari Jepang. (Ketika Kaygetsu tutup, Jobs membujuk juru masaknya agar pindah ke kantin Apple, membuat girang para pegawainya yang juga suka hidangan Jepang autentik seperti Jobs.) 

Sandang: Dalam satu kunjungan bisnis ke Jepang bersama John Sculley, Jobs bertanya kepada chairman dan pendiri Sony, Akio Morita, mengapa semua pegawai Sony memakai seragam. Morita menjelaskan bahwa sesudah Perang Dunia II, bangsa Jepang ke­kurangan sandang. Perusahaan-perusahaan menyediakan seragam supaya para pegawai tak merasa malu; mereka punya baju yang layak untuk dipakai bekerja. 

Jobs jadi terpikir memesan seragam untuk para pegawai Apple, jaket rancangan Issey Miyake. Tapi pegawai Amerika tak suka dan menolak seragam, dan Jobs membatalkan gagasan itu. Untuk diri- nya sendiri, dia memesan rancangan kaos turtleneck dari MiYake; kaos itu, dipakai bersama celana jeans Levi's tanpa sabuk dan sepatu olahraga New Balance, adalah gaua khas Jobs yang sering sekali dia pakai di dalam dan di luar tempat kerja. 

Miyake membuat seratus kaos untuk Jobs, memenuhi lemarinya. Pakaian Jobs yang sederhana ibarat Zen itu fungsional sekaligus khas. 

Keterampilan Jepang : Pada pertengahan 1990-an, Steve Jobs dan istrinya pergi ke satu galeri di Kyoto dan melihat pameran karya seniman porselen bernama Yukio Shakunaga. Jobs tiga kali men­datangi pameran yang berlangsung selama seminggu itu, dan membeli beberapa karya. 

Walau Jobs tak bisa berbahasa Jepang, dan bahasa Inggris Shaku­naga pas-pasan, mereka berdua bisa bercakap-cakap menggunakan pena dan kertas. Jobs ingin tahu mengenai tanah liat putih hakudo yang digunakan sang seniman; Shakunaga menggali sendiri tanah itu, tak seperti pembuat porselen lain yang sekadar membeli tanah hat. 

Jobs memesan lebih banyak lagi karya untuk koleksinya ketika dia kembali ke California. 

Ketertarikan Jobs dengan proses pembuatan karya Shakunaga mirip dengan komentar mantan CEO Apple, John Sculley, me­ngenai Jobs: "Dia orang dengan visi besar. Tapi dia juga percaya dengan rincian tiap langkah. Dia tekun dan teliti dalam segala hal perfeksionis habis-habisan."



PRAKTIK BISNIS YANG SEHAT 

Rasa ingin tahu Jobs juga membuat dia berinovasi dalam bisnis. Dia mempelajari karier Akio Morita untuk mencari tahu bagaimana dia bisa memperbaiki produk-produk Apple. Sebagaimana sutra di­katakan Jobs (komentar ini aslinya dari Pablo Picasso), seniman bagus meniru, tapi seniman hebat mencuri. Dalam kunjungan ta­hun 1985 ke Jepang, John Sculley dan Jobs menyambangi pabrik-pabrik berteknologi canggih Sony yang mengilhami pabrik-pabri Macintosh. Sculley mengenang, "Titik rujukan Steve waktu itu adalah Sony. Dia benar-benar ingin menjadi Sony. Dia tak ingin jadi IBM. Dia tak ingin jadi Microsoft. Dia ingin menjadi Sony." Sculley menjelaskan:

Kami dulu suka mengunjungi Akio Morita; dia punya stan­dar tinggi seperti Steve dan sangat menghargai produk yang indah. Saya ingat Akio Morita menghadiahi saya dan Steve masing-masing satu Sony Walkman pertama. Kami berdua sama-sama tak pernah melihat produk semacam itu, karena memang belum pernah ada. Itu 25 tahun lalu dan Steve ter­pesona. Yang pertama dia lakukan adalah membongkarnya dan memperhatikan tiap bagian. Cara penyelesaiannya, cara pembuatannya.

Rasa ingin tahu Jobs juga meluas ke cara berbisnis Jepang, Yang mengakui bahwa karena konsumen adalah raja, maka pengalaman konsumen adalah hal terpenting. Morita menjelaskan cara Jepang menangani konsumen dalam autobiografinya, Made in Japan.

Karema konsumen Jepang rewel, maka kami tak hisa menjual apa pun yang mutunya tak tinggi. Layanan purnajual sangat penting; kami akan tetap menelpon ke rumah, dan perusahaan yang mengabaikan aspek produksi atau pengiriman atau layanan apa pun akan kehilangan konsumen. Seorang Amerika dalam bisnis kosmetik kaget ketika mendengar bahwa pedagang grosir Jepang masih biasa mengirim satu batang lipstik dengan kurir melintas kota ke pengecer yang ditunggui konsumen. Jika tidak melakukan itu, kata si pedagang grosir, dia bisa kehilangan kerja sama bisnis dengan pengecer tersebut.

Jobs mengambil cara berbisnis Jepang dan memperbaikinya, menggunakan yang terbaik dalam filosofi tersebut untuk filosofinya sendiri.

Penelitian saksama atas autobiografi Morita juga menunjukkan pertimbangan Jepang yang memengaruhi pemikiran Jobs dan juga Apple. Morita dan Jobs jelas sepemahaman. Inilah beberapa contoh Bari buku Morita yang cocok berada dalam buku Jobs.

Kreativitas: "Bisa saja kita punya gagasan bagus, ciptaan he-bat, tapi gagal di pasaran; jadi perencanaan produk, yang berarti memutuskan bagaimana menggunakan teknologi di suatu produk, menuntut kreativitas. Dan sesudah punya produk bagus, kita perlu gunakan kreativitas dalam memasarkannya. Hanya dengan ketiga jenis kreativitas itulah—teknologi, perencanaan produk, dan pe­masaran—masyarakat bisa menerima manfaat teknologi baru.

Apple selalu mengutamakan masuknya kreativitas di tiap tahap, dari perumusan sampai penyajian produk. Apple selalu meng­gunakan jasa agen periklanan terbaik—kadang sampai mengadu antar agen, supaya mereka terpacu—sampai-sampai perusahaan ter­sebut bersinonim dengan kreativitas.

Merebut hati konsumen: "Semuanya ada di rak dan lantai toko di seluruh dunia: produk-produk bermutu tinggi yang orang inginkan, dengan berbagai ragam yang memuaskan semua kehen­dak. Itulah cara barang Jepang merebut pasar Amerika Serikat. Dan saya bakal bilang bahwa cara terbaik untuk bersaing dengan Jepang adalah dengan memeriksa rancangan, konstruksi, dan konsep inovatif produk-produk Jepang yang berhasil".

Konsumen Jepang termasuk yang paling banyak maunya di dunia. Mereka mengharap dan menuntut produk yang unggul, jadi pabrik-pabrik Jepang menyediakannya—atau cepat gulung tikar. Mengejutkan dan menyenangkan masyarakat Jepang yang sulit dipuaskan, terutama dengan produk elektronik, adalah tantangan besar.

Namun Apple tampaknya telah menjawab tantangan itu. Produk-produk Apple, terutama iPhone, sangat diminati di Jepang. Ketika iPhone 5 diumumkan, seorang calon pembeli sudah mengantre di depan toko Apple di Ginza, Tokyo, sepuluh hari sebelum tanggal rilis.

Konsumen Jepang lain yang berbaris di belakang orang pertama itu memakai jas hujan dan menantang topan yang melanda. "Tepat sebelum topan sampai di Tokyo, beberapa orang yang sudah antre dipindahkan ke toko Apple supaya bisa berteduh.... Di sana mereka diperbolehkan membawa barang bawaan mereka yang basah, beristirahat di tearer Apple Store sampai pukul 10 pagi, dan bahkan diberi air minum botolan.

Pengalaman itu membuat salah seorang pengantre berkata, "Saya sangat tergerak dengan bagaimana Apple memperlakukan konsumen."

Rancangan masa depan: "Bering dikatakan di Jepang, dengan tepat, bahwa gerak industri Jepang pada 1970-an dan 1980-an adalah menuju barang-barang yang ringan, ramping, pendek, dan kecil. Kami perkirakan ini juga akan berlaku pada masa depan." 

Pikirkan iPod, iPhone, dan iPad. Semuanya contoh bagus cara Jobs terus-menerus berusaha memperbaiki, menyederhanakan, dan memastikan produk-produknya memiliki sesedikit mungkin "jarak".

Tergesa-gesa itu sia-sia: "Saya sudah bertahun-tahun berurusan dengan orang Amerika dan mereka selalu tergesa-gesa. Sering terde­ngar di Amerika: `Tidak ada waktu lagi!' lakukan sekarang!' 'Yang ragu-ragu, kalah!"

Jobs, yang tak pernah memaksa supaya suatu produk segera dipasarkan, punya jadwal sendiri. Dia selalu meluangkan cukup waktu untuk memastikan produk sempurna sampai bagian terkecilnya. Seperti sering dikatakan Jobs ke Tim Cook, "Detail itu penting, jadi layak ditunggu sampai benar."

Penciptaan ulang: "Reaksi kami yang barangkali khas Jepang kalau mengetahui suatu perkembangan baru atau menemukan suatu gejala, selalu 'Bagaimana saya bisa menggunakannya? Apa yang saya bisa buat dengannya? Bagaimana cara menggunakannya untuk memproduksi produk yang berguna?'"

Thomas Edison berucap, "Saya ini spons yang bagus. Saya me­nyerap gagasan dan menggunakannya. Sebagian besar gagasan saya awalnya milik orang-orang yang tak mau menggunakannya".

Sebagaimana Edison, Steve Jobs merupakan seorang pereka ulang yang juga cepat mengenali dan memanfaatkan gagasan bagus. Dia lebih merupakan orang yang membayangkan ulang, ketimbang membayangkan pertama kali: Dia melihat layar komputer pribadi yang hanya menampilkan satu jenis huruf dan memberi kita kom­puter pribadi pertama di dunia yang punya banyak jenis huruf, mouse, dan tampilan pengguna grafis (graphical user interface, GUI). Dia mengambil pemutar MP3 yang canggung dengan memori terbatas dan tampilan pengguna merepotkan kemudian mengubahnya menjadi pemutar musik iPod yang luwes, mungil, dirancang intuitif. Dia mengambil telepon seluler dengan rancangan lipat, tampilan dan akses Webyang menyulitkan pengguna, dengan tombol-tombol kecil dan memberi kita layar sentuh, sistem operasi ramah pengguna, dan banyak aplikasi yang berguna. Dia mengambil tablet berbasis Pena dan memberi kita iPad yang elegan.

Steve Jobs

Jobs meminjam dan kemudian memperbaiki praktik bisnis Sony, yang sangat penting dalam membuat produk-produk Apple menarik bagi semua orang, termasuk konsumen Jepang yang menuntut produk terbaik.

"MENGOLAH RASA INGIN TAHU BISA MEMBAWA KITA KE HASIL TAK TERDUGA DENGAN CARA TAK TERDUGA KEHIDUPAN BISA PENUH KEJUTAN MANIS SEPERTI ITU"